Belum menemukan, cari Resep disini

Kamis, 29 Oktober 2009

FESTIVAL MAKANAN TRADISIONAL 2009, KAMPANYE KEMBALI KE MAKANAN TRADISIONAL


Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan makanan tradisional Pemerintah Kota Yogyakarta melalaui Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yoyakarta mengadakan Festival Makanan Tradisional (FMT) dan Bursa makanan Tradisional. FMT yang sudah tujuh kali digelar dan menja di agenda tahunan ini digelar di Benteng Vredeburg Minggu,(25/9). Kepala sub dinas Pariwisata pada Dinas Priwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta Drs. Sudibyo mengatakan FMT 2005 dibagi dalam dua kategori yakni profesional dan non profesional.

Kategori profesional diperuntukan bagi kalangan profesinal makanan seperti Hotel, restoran, rumah makan, dan jasa boga termasuk di dalamnya Lembaga Pendidikan Pariwisata, ungkap Dibyo. Sedangkan kategori Non Profesional , lanjut Dibyo, diperuntukkan bagi para pencinta makanan tradisional maupun pengrajin yang masih tergolong home industry. Sementara klasifikasi makanan yang diperlombahkan meliputi minuman tradisional, makanan kecil (snack) tradisional dan menu lengkap. Keluar sebagai juara dari kelompok profesional adalah Prambanan Garden Resto maraih juara I untuk kategori Minuman Tradisional. Sedangkan juara kedua dan ketiga masing masing, Prambanan Garden Resto dan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Kategori Makanan Kecil Tradisional keluar sebagai juara I Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Sedangkan, Akademi Pariwisata Indonesia Yogyakarta dan PROTEPA UGM masing-masing menduduki tempat II dan III.
Untuk kategori Menu Lengkap keluar sebagai Juara I dari INNA Garuda Yogyakarta, disusul Akademi Kesejahteraan Sosial AKK Yogayakarta, dan Pesta Perak durutan II dan III. Sementara itu, di Kelompok Non Profesional kategori Minuman Tradisional juara I diraih Ny. Agung diikuti Ny. Ade dan SMK.N 6 Yogyakarta diurutan II dan III.

Kategori Makanan Kecil Tradisional juara I, Ny. Sukesih disusul Yuniseto dan Tri Utami S di tempat II dan III. Sedangkan kategori Menu Lengkap, juara I diraih Vivian Bayu Prawoto dan di urutan II dan III masing-masing SMKN. 4 Yogyakarta dan Ikawisnu. Para pemenang selain mendapatkan trophy Walikota, Ketua DPRD,dan Ketua TPPKK Kota Yogyakarta, juga mendapatkan uang pembinaan, yang junlah keseluruhan mencapai Rp. 7 juta. Tim juri yang menilai berasal dari profesional di bidang makanan, pengamat perkembangan makanan tradisional antara lain Beny dan Tommy B Kamajaya dari HEPBY, Sri Rejeki dari APJI Kota Yogyakarta, Widi Arimbi dari LSM pemerhati makanan tradisinal, dan Paula Sugito dari Masyarakat. Sedang, kriteria penilaian meliputi susunan menu dan cita rasa, komposisi bahan makanan, rsesep, display atau penyajian serta sanitasi makanan. Melihat animo masyakarat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun untuk mengikuti FMT dan meyaksikan ajang FMT ini Drs. Dibyo, berharap akan manjadi alternatif pilihan bagi wisatawan untuk memperlama tinggal di Yogyakarta.

Selain itu, event FMT ini akan meningkatkan harkat makanan tradisional yang dimiliki Yogyakarta serta mendukung ekonomi berbasis kerakyatan. Kegiatan ini juga merupakan suatu bentuk kampanye untuk kembali ke makanan tradisional, ungkap Dibyo.
Source: jogjakota.go.id

Festival Makanan Tradisional Jawa Timur
dan Daerah lainnya ada gak ya Selengkapnya...

Minggu, 25 Oktober 2009

Sejarah Angkringan ( jogja ) - Hik ( Solo )


Apa yang anda lakukan ketika merasa suntuk sekaligus lapar, jenuh dengan aktifitas sehari-hari dan ingin melepas penat tanpa merogoh kocek terlalu dalam? Jika anda berada di kota Jogja, entah itu kuliah atau bekerja, anda tentu sudah tidak asing dengan yang namanya “angkringan” bukan? Ya, angkringan bisa kita temukan di mana saja di sepanjang jalan yang ada di Jogja. Kita juga bisa menemukannya di Solo, hanya saja namanya berbeda. Di Solo sebutannya “Hik”. Ada yang mengatakan itu kepanjangan dari “hidangan istimewa kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi. Yang jelas angkringan Jogja dan hik Solo tidak jauh berbeda ciri-cirinya. Malam ini Jogja cerah sekali cuacanya. Rembulan terlihat setengah lingkaran, seperti semangka keemasan melayang di langit malam yang hitam. Saya ingin menikmatinya sambil ngangkring si dekat kosan saya di daerah Sagan, tepatnya di jalan Herman Yohanes. Ada yang belum pernah ngangkring? Waa..kurang akrab dengan jogja ya?

Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Dengan kapasitas sekitar 8 orang pembeli, angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.

Di Angkringan pasti selalu ada menu makanan wajib yaitu Nasi (sego) kucing, ya sekilas kalau kita lihat nasi ini kecil memang pantas untuk ukuran kucing hehehe yang biasanya di bungkus dengan daun pisang. Isi lauk nasi kucing biasanya sambal tempe atau teri, atau telur dadar yang dipotong kecil2. Terus sate usus atau jeruan, ada juga sate telur puyuh. Dan untuk minumannya yaitu wedang jahe, mantep tenaan.kripik juga ada dan lain-lain. kembali ke Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Saya saja yang perempuan, pernah menghabiskan 4 bungkus. Entah karena nasinya memang enak atau saya yang doyan makan, saya sendiri bingung. Minuman yang dijual pun beraneka macam seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran beberapa yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Tapi sekarang kalau dirasa-rasa, harga hidangan angkringan ikut melambung gara-gara kenaikan harga BBM 24 Mei 2008 lalu. Tetapi teap saja angkringan banyak penggemar.

Mungkin hampir setiap 100 meteran, kita dapat menemukan angkringan. Bagaimana awalnya usaha ini bisa begitu menjamur di Jogja? Sebagai mahasiswa yang cukup hobi ngangkring, saya kerap mengobrol dengan pedagangnya setiap kali ngangkring. Ternyata setiap kali saya tanya “Pak njenengan asline king pundi?”, jawabannya hampir selalu sama, “Kula king Klaten, Mbak”. Pedagang angkringan di Jalan Herman Yohanes tempat saya biasa membeli jasu (jahe susu) pernah saya tanya, “Wis suwe po Mas bukak angkringan?”, dan dia menjawab, “Lha wong mbahku wae bukak angkringan kok, Mbak”. Sebenarnya sejak kapan angkringan muncul di Jogja?

Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.

Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.

Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.

Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang beranggotakan sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang bisa makan lebih mewah di restoran.

Dari semua angkringan yang pernah saya coba, saya jatuh cinta pada jadah bakar dan teh nasgitel (panas, legi, kentel) racikan Lik Man, angkringan legendaris Jogja. tidak jarang warung angkring Lik Man kedatangan orang-orang terkenal dari berbagai jenis pekerjaan. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen ini pun jatuh cinta kepada angkringan Lik Man di Stasiun Tugu sana. Tidak hanya Djadug, beberapa sastrawan, budayawan, atau olahragawan ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval pemain PSIM asal Chilie pun sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan. Menyenangkan sekali melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, lalu ngobrol ngalor-ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat, sampai tertawa lepas melepaskan beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status anda, karena di angkringan semuanya adalah sama

Rekomendasi Angkringan Enak Solo-Jogja >>

- Angkringan Tugu (kopi Jozz) Jog

- Angkringan PDAM Jogja Sleman

- Angkringan Kali Code (Sepanjang Kali Code Jogja)

- Hik Pak Kumis (Manahan Solo)

- Hik Bladu (Kantor KB Karanganyar Solo)

- Hik Gaul (Karanganyar Solo)

dan masih banyak lagi angkringan / hik di solo-jogja yang mestinya kamu samperin..yang jumlahnya hampir ribuan di kedua kota itu..

(dari berbagai sumber dan author emmanis) Selengkapnya...

Kuliner Nusantara   © 2008. Template Recipes by Emporium Digital

TOP